Pada kesempatan kali ini saya akan membahas sebuah artikel makalah mengenai Filologi dan Penelitian Tafsir yang mudah mudahan berguna sebagai referensi pengetahuan anda tentang materi Filologi dan Penelitian Tafsir.
Berbicara mengenai pengertian “filologi” tentunya
tidak dapat dipisahkan dari objek
kajiannya, yaitu naskah kuno. Untuk memahami filologi maka kita perlu
mengetahui pengertiannya secara etimologis maupun terminologis. Secara
etimologis filologi berasal dari bahasa Yunani philein, "cinta" dan logos, "kata" jadi filologi adalah cinta kata-kata.
Sedangkan secara terminologis adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Siti
Bariroh Baried dkk., dalam buku “Pengantar Teori Filologi” bahwa
filologi adalah ilmu yang berkaitan dengan naskah dan pernaskahan, objek
kajiannya adalah berupa teks, yaitu informasi yang terkandung dalam naskah yang
juga bisa disebut dengan muatan naskah.[1]
Sementara Nabilah Lubis dalam pidato pengukuhannya sebagai
Guru Besar Tetap dalam Ilmu Sastra Arab Fakultas Adab IAIN (kini Fakultas Adab
dan Humaniora UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta berjudul “Pentingnya Pendekatan Filologi
Dalam Studi Keislaman” mengatakan:[2]
“Filologi ialah pengetahuan tentang sastra,
yang dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra dan kebudayaan. Filologi
merupakan disiplin ilmu yang berguna untuk meneliti bahasa suatu karya melalui
kajian linguistik, makna kata-kata, dan penilaian terhadap ungkapan bahasa
sastra.”
Dari beberapa pengertian filologi sebagaimana telah
dikemukakan di atas, pada pokoknya dapat digarisbawahi bahwa filologi merupakan
suatu disiplin ilmu yang meneliti naskah atau pernaskahan tulisan tangan (manuscript),
baik keberadaan fisiknya maupun kandungan isinya yang memberikan berbagai
informasi tentang kebuadayaan suatu masyarakat pembuatnya sesuai zamannya.
B.
Pendekatan Filologi Dalam Kajian Islam
Az-Zamakhsyari, sebagaimana dikutip Nabilah Lubis,[3] mengungkapkan
kegiatan filologi sebagai tahqiq al-kutub. Ungkapan itu secara lengkap
sebagai berikut:
حَقَّقْتُ
الأمرَ وأحْقَقْتُهُ: كُنْتُ عَلَى يَقِينٍ مِنْهُ، وحَقَّقْتُ الخَبَرَ فَأَنّاَ
أَحَقَّه
وَقَفْتُ عَلى حَقِيْقَتِه. ويقول الرجل لأصحابه إذا بَلَغَهُم خَبَرٌ فَلَمْ يَسْتَيْقِنُوهُ: أنا أَحَقُّ لَكُمْ هَذا الخبرَ، أي أَعْلَمُهُ لكم وأَعْرَفُ حَقِيقَتَهُ
وَقَفْتُ عَلى حَقِيْقَتِه. ويقول الرجل لأصحابه إذا بَلَغَهُم خَبَرٌ فَلَمْ يَسْتَيْقِنُوهُ: أنا أَحَقُّ لَكُمْ هَذا الخبرَ، أي أَعْلَمُهُ لكم وأَعْرَفُ حَقِيقَتَهُ
Secara bahasa, tahqiq berarti
tashhih (membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara
istilah, tahqiq berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan
pengarangnya, baik bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami
bahwa tahqiq bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari
kesalahan-kesalahan dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks
atau nash adalah melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam
teks tersebut.
Bangsa Arab pra-Islam dikenal
dengan karya-karya syair maupun sastra prosanya. Karya yang paling terkenal
adalah “Muallaqat” (berarti “yang tergantung), karya-karya yang berupa
qasidah-qasidah panjang dan bagus yang digantungkan pada dinding Ka’bah dengan
tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-hari pasar dan keramaian lainnya.
Penelitian naskah Arab telah lama
dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada masa itu,
nash Al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini membutuhkan
ketelitian untuk menyalin teks-teks Al-Qur’an ke dalam mushaf tersebut.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada tulang
belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan
disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat Al-Qur’an
ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahi yang harus senantiasa dijaga.
Setelah Islam tumbuh dan
berkembang di Spanyol pada abad ke-8 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, pada
zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan Yunani yang telah diterima bangsa
Arab kemudian kembali ke Eropa dengan epistemologi Islam. Puncak kemajuan karya
sastra Islam ini mengalami kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Karya tulis
al-Ghazali, Fariduddin Attar, dan lainnya yang bernuansa mistik berkembang maju
di wilayah Persia dan dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain
menjadi rujukan wajib mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik
pelajar di Eropa.
Dalam konteks keindonesiaan,
manuskrip Islam terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama, manuskrip berbahasa dan
tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi, yakni naskah yang ditulis dengan huruf
Arab tapi berbahasa Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni naskah yang ditulis
dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda,
Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya. Manuskrip keislaman di Indonesia lebih banyak berkaitan dengan ajaran
tasawuf, seperti karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri, Syeh Abdul Rauf
al-Singkili, dan Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak sedikit pula yang membahas
tentang studi Al-Qur’an, tafsir, qiraah dan hadis. Misalnya Syeh Nawawi Banten
dengan tafsir Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh
Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah, al-Badr
al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya yang lain. Sebagian
karya-karya tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq, dan dicetak tanpa
tahqiq .Sementara sebagian besar lainnya masih berupa manuskrip. Padahal
umumnya, karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia Islam, tidak hanya di
Indonesia.[4]
C.
Kedudukan dan Penerapan Filologi Dalam Penelitian Tafsir
Sumber ajaran Islam dapat kita peroleh melalui naskah-naskah
termasuk naskah klasik pada masa lampau. Wilayah Tafsir dan Hadits merupakan
salah satu sasaran dan memiliki peran penting dan juga memiliki muatan teks
yang relevan dengan teks atau naskah masa lampau, untuk itu filologi dapat
dijadikan salah satu alternatif metode dalam menghadapi suatu naskah klasik
yang berhubungan dengan penelitian Tafsir dan Hadits. Namun pengkajian terhadap
isi suatu naskah atau teks tidak hanya melibatkan ilmu-ilmu yang terkait erat
dengan Al-Qur’an dan Hadits, melainkan juga melibatkan keilmuan lain seperti
ilmu sejarah, bahasa, dan sosial humaniora. Kemudian proses pembacaan dan
penyalinan naskah dari satu orang ke orang lain pun dapat terbaca melalui
keilmuwan filologi tersebut. Dengan demikian, filologi dapat diintegrasikan dengan peneletian tafsir karena hal ini terkait dengan analisis teks.
Penerapan pendekatan filologis dalam penelitian Tafsir dapat dilakukan
dalam beberapa cabang ilmu sebagai berikut:[5]
n Filologi Komparatif (Comparative
Philology), dalam filologi klasik, misalnya dapat diterapkan dalam studi
tentang Al-Qur’an atau hadis dalam membantu menemukan pengaruh bahasa-bahasa
asing non-Arab apa saja yang dikandung oleh Al-Qur’an dan teks-teka hadis yang
pada gilirannya penemuan ini dapat memberi ruang bagi analisis tentang
ketinggian I’jâz al-Qur’ân, maupun kemungkinan kaitan antara sajian teks
Al-Qur’an atau hadis dengan sumber-sumber pra-Islam.
Contoh kajian
ini dapat dilihat dalam dua artikel al-Suyuti di dalam al-Itqân:
n Pertama, kajian tentang kata-kata asing Al-Qur’an yang
berasal dari dialek non-Quraisy. Suyuti menyebut beberapa pengaruh dialek Arab pinggiran
seperti Yaman dalam beberapa istilah Al-Qur’an. Ia mencontohkan, misalnya,
bahwa kata “lahw” yang dipakai Al-Qur’an untuk menunjuk arti “permainan” atau
“kesenangan” dalam dialek Quraisy sebenarnya berasal dari dialek Yaman yang
berarti “perempuan”; atau kata “marjân” yang juga berasal dari dialek Yaman
yang merujuk pada arti permata (lu’lu’) yang lebih kecil ukurannya.[6]
n Kedua, tentang kata-kata di dalam Al-Qur’an yang bukan berasal dari dialek
Hijaz dan bahkan bahasa asing non-Arab yang diarabkan (mu‘arrab) dan ini merupakan
ringkasan dari salah satu karyanya sendiri berjudul al-Muhadzdzab fî mâ
waqa‘a fi al-Qur’ân min al-mu‘arrab. Karya ini diakuinya sebagai
satu-satunya literatur yang memberikan penjelasan terhadap persoalan serupa
setelah para ulama sebelumnya seperti Tâjuddin Subkî (w.769/1368) dan Ibn Hajar
al-Asqallânî (w. 852/1449) hanya menyebutkan lafazh-lafazh mu’arrab itu dalam
bait-bait syair yang mereka gubah. Peran besar Suyuti dalam hal ini adalah dengan memberikan sajian
penjelasan yang lebih bersifat analitis-ilmiah melalui telaah filologis klasik
terhadap problematika bahasa Al-Qur’an tersebut.[7]
n Rekonstruksi teks (text reconstruction), dalam filologi modern, atau
disebut pula dengan istilah higher criticism menekankan upaya
rekonstruksi sebuah naskah asli hasil karya pengarang lama berdasarkan varian
salinan manuskripnya. Ini bisa dilakukan terhadap naskah karya tafsir dan
hadis. Unsur-unsur utama yang dicari dalam kritisisme teks ini mencakup:
n status kepengarangan (authorship),
n penanggalan, dan
n keaslian naskah.
D.
Urgensi Filologi Dalam Penelitian Tafsir
Lepas
dari sentuhan mutakhir dalam perkembangan ilmu filologi, pendekatan ilmiah yang
memakai filologi sebagai pisau bedah analisis dalam sejarah perkembangan kajian
Al-Qur’an dan ulumul Al-Qur’an, atau dalam kajian Islam secara umum, sudah
dilakukan sejak lama lantaran materi Al-Qur’an dan Hadis tertuang dalam bahasa
Arab. Jika kita menilik perkembangan bahasa Arab sekarang, dan membandingkannya
dengan bahasa Arab yang tertuang dalam Al-Qur’an dan naskah-naskah hadis
misalnya, maka kita bisa menilai bahwa bahasa Arab memiliki keunikan yang tidak
hanya dianggap bagian dari bahasa kuno, tetapi kekunoan itu terus terpelihara
hingga kini. Alasan inilah yang menegaskan pentingnya pendekatan filologis
terhadap penafsiran Al-Qur’an.
Selain
itu, filologi menjadi sebuah kajian yang penting di dalam penelitian Tafsir
karena mengingat pentingnya tujuan filologi itu sendiri. Sebagaimana Siti
Baroroh dkk., dalam bukunya membagi tujuan kajian filologi ke dalam dua
bagian, tujuan umum dan tujuan khusus:[8]
Tujuan
Umum:
a. Mengungkapkan produk masa lampau melalui peninggalan tulisan.
b. Mengungkapkan fungsi peninggalan tulisan pada masyarakat
penerimanya, baik pada masa lampau maupun masa kini.
c. Mengungkapkan nilai-nilai budaya masa lampau
Tujuan Khusus:
a. Mengungkapkan
bentuk mula teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau.
b. Mengungkapkan
sejarah perkembangan teks.
c. Mengungkapkan
sambutan masyarakat suatu teks sepanjang penerimaannya m enyajikan teks dalam bentuk yang terbaca oleh
masyarakat masa kini, yaitu dalam bentuk suntingan.
[1] Uka Tjandrasasmita, Naskah Klasik Dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah
Islam Di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang, 2012) hlm. 5
[2] Ibid, hlm. 5
[3] Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian
Filologi, (Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab
IAIN Syarif Hidayatullah, 1996), hlm. 2
[4]
http://ahmadnursanto98.blogspot.com/2013/02/review-hasil-kajian-islam-pendekatan.html
(diakses pada tgl 29 okt 13 pukul 22.03)
[5]Mohammad Anwar
Syarifuddin, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis-Bahan Ajar Berbasis
Multimedia,(versi Power Point)
[6] Jalaluddin
As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, (Surakarta: Indiva pustaka,
Januari 2008), hlm. 134-136
[7] Ibid,
hlm. 136-142
[8]
Uka Tjandrasasmita, Naskah Klasik Dan Penerapannya
Bagi Kajian Sejarah Islam Di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang, 2012) hlm. 18-19
0 Comments
#Berkomentarlah dengan Sopan
#Bila link download error, jangan Sungkan Berkomentar