Sejarah Tulisan arab Pegon, Aksara Pemersatu Ulama Nusantara yang Mulai Hilang

Ngaji Yuk - Bagi orang-orang yang pernah menimba ilmu di pesantren kampung, pasti tidak asing lagi dengan kitab kuning. Kitab kuning ditulis dalam Bahasa Arab asli dengan menggunakan huruf hijaiyah asli kemudian diartikan dengan menggunakan Bahasa Jawa yang ditulis dengan menggunakan huruf arab pegon (huruf arab sandi).
Mungkin orang awam banyak yang tidak mengenal apa itu huruf pegon. Sederhannya huruf pegon sendiri bisa dianalogikan seperti huruf dalam Aksara Jawa tapi versi huruf hijaiyah arab yang sedikit ada tambahan. Kalau dalam huruf Arab asli tidak ada huruf yang merepresentasikan alfabet.
Menurut Dick van Der Meij dari Universitas Leiden, fenomena pegon menunjukkan dengan jelas bahwa pegon adalah salah satu kreativitas pesantren untuk mempertahankan identitas sebagai tradisi Islam Nusantara.

arab pegon
Image : Adibriza.com

Sementara Prof Hj Titik Pudjiastuti dari Universitas Indonesia dan Prof H Syamsyul Hadi dari Universitas Gajah Mada menyebutkan aksara pegon mulai ditemukan sejak abad ke-15. Hasil telusuran para peneliti ini menyebutkan bahwa aksara pegon terdapat di beberapa tempat seperti Jawa, Cirebon, Sunda, Madura, Bugis dan Melayu Sumatera yang mempunyai kekhasan masing-masing.
Arab Pegon memang dituliskan dalam bahasa lokal suku bangsa di Indonesia. Dikatakan bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan dalam bahasa Jawa saja, tapi juga menggunakan bahasa Sunda, bahasa Cirebon, Madura, bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan bahasa Melayu Sumatera.
Keberadaan Arab pegon sangat erat kaitannya dengan syiar ajaran Islam di negeri kita indonesia. Para ulama menggunakan metode ini untuk mempermudah penyebaran syariat Islam.
Selain itu, Arab pegon juga mempunyai kandungan sastra Jawa yang terdapat di dalam teks Arab pegon yang dimiliki orang Jawa. Demikian pula dengan arab pegon di daerah lain mengandung unsur sastra didalamnya seperti sastra Sunda, Bugis dan Melayu Sumatera.
Huruf Pegon mengambil namanya dari kata Pego yang berarti menyimpang, karena menggunakan abjad Arab (Hijaiyah) untuk menuliskan bahasa Jawa, Sunda, Bugis atau Melayu Sumatera. Berbeda dengan huruf Gundul atau Gundhil, Pegon sejatinya adalah huruf konsonan sebelum digandeng dengan huruf vokal atau sandangan huruf lainnya. Penggunaan huruf vokal ini bertujuan untuk menghindari kerancuan dengan bahasa Melayu yang tidak terlalu banyak memakai kosakata vokal.
Huruf Pegon sendiri diyakini dikembangkan pada tahun 1400-an oleh Sunan Ampel, atau dalam teori lainnya dikembangkan oleh murid Sunan Ampel yaitu Imam Nawawi Al-Bantani. Yang pasti, huruf ini lahir dari kalangan pemuka agama Islam dan diajarkan secara umum di pesantren-pesantren selama masa penjajahan Kolonial Belanda.
Pada masa itu, muncul fatwa yang menolak untuk menggunakan produk-produk penjajah (Belanda), termasuk tulisan mereka. Maka kalangan ini menggunakan Pegon sebagai simbol perlawanan, juga sebagai bahasa sandi untuk mengelabuhi penjajah (Belanda) pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota pesantren dan juga beberapa pahlawan Nasional yang berasal dari golongan santri.
Dalam manuskrip dan literatur pesantren, huruf ini juga banyak ditemukan, seperti dalam Serat (Nabi) Yusuf. Dalam ilmu sosio-linguistik, huruf pegon ini juga bisa dikatakan sebagai bahasa komunitas pesantren di seluruh Nusantara.
Ketika Kemal Attaturk menggulingkan kesultanan terakhir Utsmaniyah, huruf Pegon mengalami pergeseran oleh huruf Latin dan juga huruf Romawi, dimana hal tersebut diresmikan pada tahun 1950-an di Singapura dalam sebuah kongres yang akhirnya melahirkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Saat itu, hampir semua penerbit Koran, majalah, dan buku terpaksa mengganti huruf Pegon dengan huruf Romawi, termasuk majalah At-Turats yang dikenal menggiatkan Pegon untuk semua tulisannya. Majalah ini memiliki gagasan bahwa matinya huruf Pegon adalah matinya Ulama.
Dikenal sebagai Pegon di Nusantara, huruf ini mendapat nama Huruf Jawi di Malaysia, namun secara luas dikenal sebagai huruf Arab Melayu karena huruf ini juga akhirnya menyebar hingga ke Brunei, Thailand, dan Filipina. Uniknya, meski digunakan untuk menulis kosakata Jawa, Sunda, Bugis atau Sumatera, huruf ini tetap ditulis dari kanan ke kiri layaknya penulisan Arab, dengan kaidah penyambungan yang sama.
Sayangnya, saat ini huruf Pegon kian menghilang meski dulunya digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan kyai hingga sastrawan. Selain memang bersifat temporary (sementara), hilangnya Pegon juga karena kolonial Belanda menekan pergerakan perlawanan dari para kyai dan santri di pesantren.

Sumber: 
1. Th. Pigeaud, Literature of Java. 1970.
2. B. Arps, Tembang in Two Traditions. 1992.
3. Titik Pudjiastuti, Sadjarah Banten. 2000.
4. Manuskrip Islam Pesantren, Pegon: Aksara Masyarakat Indonesia yang hilang. 2013.
5. anri.go.id 
6. nu.or.id

Post a Comment

0 Comments