A. Pengertian Nasikh Mansukh
Nasikh menurut
bahasa dipergunakan untuk arti izalah
(menghilangkan), misalnya : نَسَخَتِ الشَّمْشُ الظِّلَ yang artinya, matahari
menghilangkan bayang-bayang; dan “وَنَسَخَتِ الرِّيْخِ أَثَرِ
الْمَشِّى” yang artinya, angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata naskh
juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat
lain, misalnya “ نَسَخَتِ الْكِتَابِ” yang artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam
buku. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan:
إِنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ كُنَّا
Maksudnya,” kami memindahkan (mencatat) amal perbuatan
ke dalam lembaran (catatan amal)” (QS. al-Jasiah:29)[2].
Menurut ahli Ushul Fikh
naskh ialah “membatalkan penerapan
hukum syar’i dengan dalil syar’i yang datang kemudian, untuk kemaslahatn umat”[3].
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Dalam naskh diperlukan syarat-syarat
berikut:
a. Hukum yang mansukh adalah hukum yang syara’.
b. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab
syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
c.
Khitab yang mansukh hukumnya
tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu, sebab jika tidak demikian maka
hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut, dan demikian tidak
dinamakn naskh.
Makki berkata segolongan ulama menegaskan bahwa
khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu adalah muhkam, tidak
mansukh sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan
batas waktu tidak ada naskh didalamnya, misalnya:
فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتَّى
يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ
“maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perntah-Nya” (QS.
Al-Baqarah:109)[4].
Ada beberapa ulama yang berkata,
“surat-surat Al-Qur’an itu ditinjau dari yang nasikh dan yang mansukh dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Satu bagian yang
didalamnya tidak ada yang nasikh dan tidak ada yang mansukh. Ini terdiri dari
43 surat, yaitu: surat Al=Fatihah, Yusuf, Yasin, Al-Hujurat, Ar-Rahman,
Al-Hadid, Ash-Shaf, Al-Jum’ah, At-Tahrim, Al-Mulk, Al-Haqqah, Nuh, Al-Jin,
Al-Mursalat, An-Nisa’, An-Nazi’at, Al-Infithar, dan 3 surat sesudahnya, Al-Fajr
sampai akhir Al-Qur’an kecuali pada surat At-Tin, Al-‘Asr, dan Al-Kafirun.
2. Satu bagian yang di
dalamnya ada yang nasikh dan ada yang mansukh, yaitu sebanyak 25 surat, yaitu:
Al-Baqarah, dan tiga surat sesudahnya, juga Al-Hajj, An-Nur, dan surat
berikutnya, Al-Ahzab, Saba’, Al-Mukmin, Asy-Syura, Adz-Dzariyat, At-Thur,
Al-Waqi’ah, Al-Mujadilah, Al-Muzammil, Al-Mudatsir, At-Takwir, dan Al-‘Asr.
3. Satu bagian yang di
dalamnya hanya ada yang nasikh saja sebanyak enam surat. Yaitu: Al-Fath,
Al-Hasyr, Al-Munafiqun, At-Taghobun, Ath-Thalaq, Al-A’la.
4. Satu bagian yang
didalamnya hanya ada yang mansukh saja, yaitu 40 surat yang tersisa[5].
B. Macam-macam Naskh
Pembagian naskh
ternyata berbeda-beda. ‘abd al-Wahhab Khallaf sebagaimana Muhammad Abu Zahrat
membagi naskh menjadi 4 macam yaitu:
1.
Naskh sharih ialah naskh yang
jelas tentang berakhirnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat sembahyang
dari menghadap Baitul Maqdis diubah menjadi menghadap Ka’bah “فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ” (maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjid Haram di Mekah [QS.
2:150]). Dalam hadits terdapat juga naskh sharih seperti larangan ziarah kubur
kemudian Nabi membolehkan “
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ
آَلَا فَزُرُوْهَا ” (dulu
saya pernah melarang kamu ziarah kubur, maka ketahuilah sekarang ziarahilah
kubur itu).
2.
Naskh Dhimni ialah naskh secara
implisit (tersirat) yang tidak jelas. Naskh ini diketahui karena ada dua naskh
yang saling bertentangan dan tidak tak bisa dikompromikan, kemudian diketahui
bahwa kedua nash itu datangnya tidak sekaligus pada waktu yang sama. Dari itu
maka ayat (nash) kedua berfungsi NASIKHAT dan yang pertama menjadi MANSUKHAT.
Misalnya (QS. 2:234) tentang iddah isteri yang ditinggal mati oleh suaminya,
yakni 4 bulan 10 hari me-nasikh-kan (QS. 2:240), tentang wasiat kepada
isteri bahwa ia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.
3.
Naskh Kulli ialah pembatalan
hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan
wajibnya wasiat kepada orangtua dan kerabat (QS. 2:180) oleh ayat mawaris yaitu
QS. 4:11-14 dan juga hadis “ لا وصية لوارث”
4.
Naskh Juz’i ialah pembatalan
sebagian hukum syara’ yang umum sebelumnya oleh hukum yang datang kemudian.
Misalnya ayat tentang hukuman jilid (cambuk) 80 kali bagi orang yang
menuduh zina tanpa mengajukan 4 0rang saksi (QS. 24:4) oleh ayat li’an
bagi suami istri (QS 24:7) kalau diperhatikan maka bentuk-bentuk diatas
bukanlah naskh dalam arti yang sebenar-benarnya, tetapi hanya takhshish
dari ‘am dan taqyid dari yang muthlaq[6].
Pembagian naskh lain
di dalam Al-Qur’an juga ada 4 bagian:
1.
Naskh Qur’an dengan
Qur’an.
2.
Naskh Qur’an dengan
Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
a.
Naskh Qur’an dengan
Hadits ahad. Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad,
sebab Qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zanni
bersifat dugaan.
b.
Naskh Qur’an dengan
hadits mutawattir. Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
dan Imam Ahmad dalam satu riwayat sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Allah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ اِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan
(kepadanya)”. (QS. 53:3-4), dan firman-Nya pula:
وَاَنْزَلْنَا إِلَيْكَ اَلذِّكْرَ
لِتُبَيَّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ
“Dan kami turunkan kepadamu
Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka.” (QS. 16:44). Dan naskh itu sendiri merupakan
salah satu penjelasan.
Dalam pada itu As-Syafi’i, Ahli
Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini,
berdasarkan firman Allah:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ
أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْمِثْلِهَا
“Apa saja ayat yang kami
nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang
lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (QS. 2:106). Sedang
hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Qur’an.
3.
Naskh sunnah dengan
Qur’an . ini dibolehkan oleh jumhur, contoh masalah menghadap ke Baitul Maqdis
yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Qur’an tidak terdapat dalil yang
menunjukkannya. Ketetapan ini dinasakhkan oleh Qur’an dengan firman-Nya:
فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“maka palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram.” (QS. 2:144).
Tetapi naskh versi ini pun
ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang
ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan
Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah.
4.
Naskh sunnah dengan
sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
1)
Naskh mutawattir dengan
naskh mutawattir.
2)
Naskh ahad dengan
naskh ahad.
3)
Naskh ahad dengan
mutawattir.
4)
Naskh mutawattir
dengan ahad.
C. Pendapat Para Ulama
1.
Menerima adanya naskh
‘Abdul al-Wahhab al-Khallaf berpendapat bahwa memang
terdapat nasikh sebelum Rasul Allah wafat, namun setelah wafat beliau tidak ada
lagi naskh itu. Al-Suyuthi lebih jauh merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam
naskh. Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi cenderung menolak naskh. Jumhur ulama
menyetujui adanya naskh termasuk Imam Syafi’i dan imam-imam yang lain.
Asal mula timbulnya teori naskh ialah bermula
adanya ayat-ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak
dapat dikompromikan. Menurut al-Nahhas (w. 388 H) ayat-ayat yang mansukhat
sebanyak 100 ayat lebih. Menurut al-Suyuthi (w. 911 H) setelah menyesuaikan
ayat-ayat yang nampaknya bertentangan, tinggal 20 ayat yang tak dapat
disesuaikan. Al-Syawkani (w. 1250 H) berpendapat bahwa ayat-ayat yang tidak
dapat dikompromikan yang semula 20 ayat akhirnya tinggal 8 ayat. Syah
Waliyullah (1703-1762) bahkan memakai arti naskh dalam arti yang lebih umum
sehingga menurut pendapatnya ayat yang telah di-naskh-kan mencapai
kurang lebih 500 ayat. Dalil-dalil mereka yang mendukung pendapat tentang
naskh, antara lain:
a. Ayat 106 dari surat al-Baqarah:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ
أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ
عَلَى كُلِّ شَئٍ قَدِيْرٌ
(Tidak satupun dari ayat yang kami hapuskan atau kami
lupakan, niscaya kami datangkan [penggantinya] yang lebih baik darinya atau
serupa dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu?)
b. Ayat 101 dari surat an-Nahl:
وَاِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللهُ أَعْلَمُ
بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوْا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ
(Dan apabila kami
mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain dan Allah Maha Tahu tentang
ayat-ayat yang diturunkan-Nya itu, lantas mereka berkata [kepada Muhammad]
sesungguhnya kamu adalah pembohong. [bukan Muhammad yang pembohong] melainkan
mereka tidak mengetahui [hakikat yang sebenernya terjadi].
2. Menolak adanya naskh
Di antara mereka yang menolak adanya naskh
dalam al-Qur’an ialah Abu Muslim al-Isfahani (w. 322 H). Ia kemudian diikuti
oleh para ulama mutaakhirin.
Di antara alasan mereka ialah:
1. Jika dalam al-Qur’an ada naskh, berarti dalam al-Qur’an ada yang salah satu
batal.
2. Tidak adanya kesepakatan para ulama beberapa jumlah ayat yang telah di
naskh. Demikian pula para sahabat, nampaknya hanya Ali saja yang berwanti-wanti
tentang naskh.
3. Tidak ada penegasan Nabi tentang ada atau tidaknya naskh.
4. Adanya ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat
dikompromikan, belum dapat menjadi jaminan tentang adanya naskh[7].
D. Cara mengetahui Nasakh dan Mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat
dilihat dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadits yang berbunyi:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ
الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ
فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تَذْكِرَ الْاَخِرَةِ
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, sekarang
Muhammada telah mendapat izin untuk menziarahi kubur ibunya, kini berziarah
kuburlah kamu. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi)
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini ini nasakh dan mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif
sejarah.
Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau
keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya
keislaman seseorang dari dua perawi. Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan
faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an. Jadi,
berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya
terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal
(pokok)[8].
E. Hukum Nasikh Mansukh
Hukum naskh dalam
Qur’an ada tiga macam:
1.
Naskh tilawah dan
hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari ‘Aisyah,
ia berkata:
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَشَرُ
رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ
فَنُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ . فَتُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأَنِ)
“Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah
sepuluh susunan yang maklum tu menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini
dinasakh oleh lima susunan yang maklum. Maka ketika Rasulullah wafat lima
susunan ini termasuk ayat Qur’an yang dibaca (matlu’).”
Para ulama telah membicarakan maksud dari
perkataan ‘Aisyah, “dan ayat-ayat itu masih dibaca sebagai Al-Qur’an” karena
zahirnya bacaan itu tetap ada. Padahal maksudnya adalah tidak demikian. Tetapi
jawabannya, maksud dari perkataan itu adalah ketika ajal Rasulullah telah dekat
atau bahwa bacaan itu juga dinasakh dan nasakh itu belum sampai kepada semua
manusia, kecuali setelah wafatnya Rasulullah, sehingga ketika Rasullah
meninggal masih ada yang membacanya sebagai Al-Qur’an.
2.
Naskh hukum,
sedangkan tilawah-nya tetap. Misalnya naskh hukum ayat idah selama satu
tahun, sedang tilawahnya tetap.
Dalam hal ini mungkin timbul
pertanyaan, apakah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada
dua segi:
1)
Qur’an selain dibaca
untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah
yang membacanya dapat pahala.
2)
Pada umumnya naskh
itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingatkan akan nikmat
dihapuskannya kesulitan (musyaqqah).
3.
Naskh tilawah sedang
hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh,
diantaranya ayat rajam:
اَلشَّيْخُ وَالشَّيْخَةٌ
إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا اَلْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ
حَكِيْمٌ
(Orang tua laki-laki dan
perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah mereka itu dengan pasti
sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Penjelasan lainnya mengenai studi tafsir Al Quran dapat anda baca di artikel Filologi dan Penelitian Tafsir
0 Comments
#Berkomentarlah dengan Sopan
#Bila link download error, jangan Sungkan Berkomentar